Sabtu, 25 Mei 2013

Tugas Softskill Penelitian Ilmiah mengenai "Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan Merupakan Keuntungan Untuk Malaysia dan Kerugian Bagi Indonesia"



KASUS PULAU SIPADAN DAN LIGITAN MERUPAKAN KEUNTUNGAN UNTUK MALAYSIA DAN KERUGIAN BAGI INDONESIA
logo_gunadarma.jpg









                                                                                                                                                    

DI SUSUN OLEH:


NAMA                       : PUTRI AYUNIAH
NPM                           : 15211637
KELAS                      : 2EA14



FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2013


KASUS PULAU SIPADAN DAN LIGITAN MERUPAKAN KEUNTUNGAN UNTUK MALAYSIA DAN KERUGIAN BAGI INDONESIA



                                               DI SUSUN OLEH:
            NAMA                       : PUTRI AYUNIAH
NPM                           : 15211637
KELAS                      : 2EA14
JURUSAN                 : MANAJEMEN
Karya tulis ini diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas dan Ujian Tengah Semester mata kuliah Pendidikan Pancasila



   








            FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2013
KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis diberikan kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan Penelitian ilmiah yang berjudul “Kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan keuntungan untuk Malaysia dan kerugian bagi Indonesia”. tujuan penulis menyusun penelitian ilmiah ini adalah untuk mengetahui seberapa penting peranan mahkamah internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional antara ke dua Negara tersebut yaitu Indonesia dan Malaysia serta mengetahui apa penyebab awal perebutan pulau-pulau tersebut.
            Penelitian Ilmiah ini disusun guna memenuhi kelengkapan tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila. Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, baik bantuan dalam bentuk moril ataupun material antara lain penulis tujukan kepada :
  1. Bapak Djumharjinis selaku dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila.
  2. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan doa dan motivasi.
  3. Serta kepada teman-teman Jurusan Manajemen angkatan 2011.
     Dengan disusunnya penelitian ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada berbagai pihak yang membutuhkannya. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan pembuatan makalah ilmiah ini untuk masa yang akan datang.
Semoga makalah ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Depok,21 April 2013
Penyusun


(Putri Ayuniah)

 

DAFTAR ISI





1.6 Sistematika Penulisan...................................................................................................................6









BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1              Latar Belakang


Sebagai negara kepulauan dengan masyarakatnya yang berbhineka, negara Indonesia memiliki unsur–unsur kekuatan sekaligus kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan geografi yang strategis dan kaya akan sumber daya alam (SDA). Sementara kelemahannya terletak pada wujud kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan dalam satu bangsa satu negara dan satu tanah air. Negara bagaikan suatu organisme. Ia tidak bisa hidup sendiri. Keberlangsungan hidupnya ikut dipengaruhi oleh negara-negara lain, terutama Negara-negara tetangga atau negara yang berada dalam satu kawasan dengannya. Seperti kasus yang akan dibahas tentang perebuatn pulau dengan negara tetangga yaitu Malaysia yang masih berada satu kawasan dengan Indonesia.
Konflik Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52,86″LU 118°37′43,52″BT dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′LU 118°53′BT. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.
Untuk itulah diperlukan satu sistem perpolitikan yang mengatur hubungan antar negara-negara yang letaknya berdekatan diatas permukaan bumi ini. Sistem politik tersebut dinamakan geopolitik yang mutlak dimiliki dan diterapkan oleh setiap negara di sekitanya tak terkecuali Indonesia. Indonesia pun harus memiliki sistem geopolitik yang cocok diterapkan dengan kondisi kepulauannya yang unik dan letak geografis negara Indonesia diatas permukaan planet bumi.geopolitik Indonesia tiada lain adalah wawasan nusantara. Wawasan nusantara tidak mengandung unsur-unsur kekerasan, cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan ide nasionalnya yang dilandasi pancasila dan UUD 1945 yang merupakan aspirasi bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan bermartabat serta menjiwai tata hidup dan tindak kebijaksanaanya dalam mencapai tujuan nasional.
Dalam hal ini sebagai warga negara Indonesia yang baik yang menerapkan geopolitik wajib ikut untuk melestarikan dan menjaga keutuhan wilayah negara. Dan tidak dapat dipungkiri di Indonesia bergulir konflik perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan dengan Negara tetangga yaitu Malaysia. Sebenarnya antara Indonesia dengan Malaysia tidak hanya terjadi konflik perebutan Pulau atau wilayah negara saja tetapi pernah juga terjadi konflik perebutan kebudayaan,makanan khas,lagu-lagu daerah. Dan yang terus bergulir dalam konflik perebutan pulau ini salah satunya Pulau Sipadan dan Ligitan. Masing-masing pihak saling mengklaim bahwa pulau-pulau tersebut berada di wilayah perariran negara mereka masing-masing. Sehingga pada akhirnya kasus ini menarik untuk saya bahas.

 

1.2              Rumusan Masalah


1.      Langkah apa yang diambil Malaysia dan Indonesia dalam menyelesaikan sengketa kedaulatan diantara keduanya?
2.      Kenapa Indonesia kalah dalam kasus tersebut padahal peluang Indonesia-Malaysia adalah fity-fifty?
3.      Bagaimanakah sikap yang seharusnya diambil Indonesia untuk kedepannya jika mengatasi kasus yang sama?

 

1.3              Batasan Masalah


Dalam hal ini pembahasan menegenai kasus perebutan wilayah terbatas hanya pada kasus sengketa perebutan pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia .

1.4              Tujuan Penulisan


1.         Untuk memenuhi tugas Pendidikan Kewarganegaraan
2.         Untuk dijadikan bahan dalam kegiatan diskusi.
3.         Untuk mengetahui sebab terjadinya konflik perebutan pulau Sipadan dan Ligitan

1.5              Metode dan teknik penulisan


Metode dan teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi yang bersifat teoritis yang kemudian data tersebut akan dijadikan dasar atau pedoman untuk melihat adanya ketidaksesuaian antara teori dengan kenyataan sebagai penyebab dari permasalahan yang dibahas dalam karya tulis ini. Sumber – sumber yang dijadikan sebagai rujukan untuk studi pustaka diperoleh dari berbagai sumber bacaan.


1.6        Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut :

BAB I : Merupakan bagian pendahuluan yang latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, metode dan tehnik penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II: Merupakan pembahasan yang menguraikan tentang tema yang dibahas berdasarkan hasil pengolahan data dan informasi dari berbagai sumber buku.

BAB III : Merupakan bagian akhir dari karya tulis ini dalam bentuk kesimpulan hasil dan saran – saran yang disampaikan.


                                                           

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Posisi Kasus


Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan untuk pertama kali muncul ketika dilangsungkan perundingan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada 9-22 September 1969, karena Malaysia mengklaim pemilik kedua pulau tersebut. Sebelum 1969 kedua belah pihak menghormati Konvensi 1891 antara Inggris dan Belanda yang menetapkan garis batas 40 10’ Lintang Utara (LU) bagi kedua negara. Indonesia berpendirian bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan yang terletak di sebelah Selatan garis itu merupakan wilayah Indonesia.  Serangkaian perjanjian, lobi, diplomasi berlangsung dengan cara “Asian Way”, sebuah cara yang mengedepankan dialog, dengan menghindari konflik militer. Akhirnya masalah itu menjadi redam dalam  tanda kutip, artinya dialog tentang perselisihan itu dicoba dilakukan dengan cara musyawarah.
Indonesia pada waktu itu tampaknya terlalu terbuai dengan model seperti itu sehingga Indonesia tiba-tiba terkejut ketika pada bulan Oktober  tahun 1991, Malaysia tiba-tiba mengeluarkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah Malaysia, dan tragisnya Indonesia juga tidak tahu kalau di Sipadan telah dibangun tourisme dan arena diving yang sangat bagus . Kemudian pada tahun 1997 Indonesia dan Malaysia bersepakat untuk menyerahkan masalah tersebut ke International Court of Justice, the Hague di Belanda.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den & Overbeck-BNBC-Malaysia.
Sengketa ini lalu dibicarakan dalam pertemuan antara Presiden Soeharto dan PM Mahathir Muhamad di Yogyakarta pada 1989. Melalui berbagai pertemuan dalam beberapa tahun, kedua belah pihak berkesimpulan sengketa ini sulit untuk diselesaikan secara bilateral
Karena itu kedua belah pihak setuju untuk mengajukan penyelesaian ini ke Mahkamah Internasional dengan menandatangai ”Perjanjian Khusus untuk diajukan ke Mahkamah Internasional dalam Sengketa antara Indonesia dan Malaysia menyangkut kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Sipdan,” di Kuala Lumpur pada 31 Mei 1997. Melalui surat bersama perjanjian ini kasus sengketa ini disampaikan ke Mahkamah Internasional di Den Haag pada 2 November 1998.
Kedua belah pihak mempercayai Mahkamah Internasional akan mengambil keputusan yang adil mengenai siapa yang berdaulat atas kedaulatan Pulau Ligitan dan Sipadan, berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den&Overbeck-BNBC-Malaysia. Malaysia juga berpendirian bahwa kedaulatannya atas kedua pulau tersebut berdasarkan fakta bahwa Inggris dan kemudian Malaysia sejak 1878 secara damai terus menerus mengadministrasi kedua pulau itu.
Di depan Mahkamah Internasional, untuk membuktikan klaimnya, kedua belah pihak harus memenuhi prosedur, antara lain menyampaikan pembelaan tertulis dan memori, memori banding dan replik. sampai memasuki tahap penyampaian pembelaan lisan.
Pembelaan lisan terbagi dua, yaitu putaran pertama pada 3 dan 4 Juni 2002 Indonesia menyampaikan pembelaannya pada dengar pendapat terbuka. Menyusul Malaysia pada 6 dan 7 Juni. Sedang putaran kedua pada 10 Juni untuk Indonesia dan pada 12 Juni jawaban Malaysia. Mengenai cara-cara menyampaikan perkara, batas waktu penyampaian pembelaan tertulis dan lisan tertera dalam Statuta ICJ. Pembelaan lisan ini, sebagai kelanjutan pembelaaan tertulis yang berakhir pada Maret 2000, akan berlangsung sampai 12 Juni 2002
Pemerintah Indonesia berpendirian bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan wilayah Indonesia. Selain itu, Indonesia tetap mengajukan protes sambil menahan diri untuk tidak melakukan klaim sepihak seperti yang dilakukan Malaysia selama ini atas kedua pulau di lepas pulau Kalimantan tersebut. Demikian salah satu kesimpulan yang diutarakan Menlu saat menyampaikan argumentasi lisan di hadapan hakim pengadilan internasional di Den Haag.
Kendati sedang bersengketa, Hassan menyataka bahwa hubungan Indonesia dengan Malaysia masih berlangsung dengan sangat baik. ”Kembali kepada sisi yang positif, Indonesia memperhatikan bahwa kendati terdapat perbedaan-perbedaan dengan Malaysia, hubungan antara kedua negara tetap berjalan sangat baik dan kedua negara telah bersikap arif untuk menyelesaikan sengketa (Sipadan dan Ligitan) secara bersama kepada yurisdiksi Mahkamah Internasional
Hassan, selaku pemegang kuasa hukum (Agent) Indonesia dalam kasus sengketa Sipadan dan Ligitan, yaitu bahwa adanya tindakan sepihak Malaysia pada tahun 1979 yang tidak mencerminkan adanya ”good faith,” diantaranya dengan cara menerbitkan peta yang memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah nasionalnya. ”Dan akhirnya dengan membangun sejumlah fasilitas wisata di Sipadan. Tindakan-tindakan ini secara fundamental tidak selaras dengan sikap menahan diri atau ‘status quo.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den & Overbeck-BNBC-Malaysia.
Pada tanggal 17 Desember 2002 lalu, Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan, Pulau Sipadan dan Ligitan adalah wilayah Malaysia berdasar kenyataan, Inggris dan Malaysia dianggap telah melaksanakan kedaulatan yang lebih "efektif" atas pulau itu sebelum tahun 1969.
Indonesia menghormati keputusan itu, apalagi karena Pasal 5 Persetujuan 1997 tegas menyatakan, kedua pihak agree to accept the judgement of the Court given pursuant to this Special Agreement as final and binding upon th.

2.1.1    Putusan Mahkamah Internasional


Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[8] [9] kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
2.1.2       Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional          

 1. Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
2. Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
3. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa

 

2.2       Pembahasan


 Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan hampir semua negara tetangganya.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.
Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu dibawah kepemiminan Mentri Luar Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan Sipadan-Ligitan dengan kekuatan diplomasinya. Memang masih banyak revisi dan peninjauan yang harus dilakukan para diplomat kita dan juga cara Deplu dalam menangani masalah internasional.
Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan deplu sebagai satu-satunya pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan dan Ligitan, mengingat kronologi konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur lebih dari empat dasawarsa tersebut. Kedua negara telah melakukan pertemuan-pertemuan baik formal maupun informal, secara bilateral maupun melalui ASEAN dalam menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan sejak tahun 1967. Indonesia dan Malaysia juga sama-sama kuat dalam mengajukan bukti historis terhadap klaim mereka masing-masing. Akhirnya pada tanggal 31 Mei 1997 pada akhir masa pemerintahan Soeharto, Soeharto menyepakati untuk menyerahkan masalah yang tak kunjung selesai ini ke mahkamah internasional dengan pertimbangan untuk menjaga solidaritas sesama negara kawasan dan penyelesaian dengan cara damai. Perlu kita tahu di sini adalah selama jangka waktu yang panjang tersebut pihak Republik Indonesia tidak pernah melakukan suatu usaha apapun dalam melakukan manajemen dan pemeliharaan atas Sipadan-Ligitan. Kita seolah mengabaikan kenyataan bahwa secara “de facto” pulau tersebut telah efektif dikuasai oleh Malaysia. Bahkan sejak tahun 1974 Malaysia sudah mulai merancang dan membangun infra struktur Ssipadan-Ligitan lengkap dengan fasilitas resort wisata. Kita seakan membiarkan saja hal ini terjadi tanpa melakukan apapun atau bahkan melakukan hal yang sama. Kesalahan kita ialah kita terlalu cukup percaya diri dengan bukti yuridis yang kita miliki dan bukti bahwa mereka yang bertempat tinggal di sana adalah orang-orang Indonesia. Tentu saja bukti ini sangat lemah mengingat bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia berasal dari rumpun yang sama dan agaknya cukup sulit membedakan warga Indonesia dan warga Malaysia dengan hanya berdasarkan penampilan fisik maupun bahasa yang dipergunakannya. Terlebih lagi sudah menjadi ciri khas di daerah perbatasan bahwa biasanya penduduk setempat merupakan penduduk campuran yang berasal dari kedua negara.
Melihat pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah internasional, ternyata bukti historis kedua negara kurang dipertimbangkan. Yang menjadi petimbangan utama dari mahkamah internasional adalah keberadaan terus-menerus dalam (continuous presence), penguasaan efektif (effectrive occupation) dan pelestarian alam (ecology preservation). Ironisnya ternyata hal-hal inilah yang kurang menjadi perhatian dari pihak Indonesia. Apabila ditelaah lebih dalam, seharusnya ketiga poin di atas ialah wewenang dan otoritas dari Departemen Luar Negeri beserta instansi lainnya yang berkaitan, tidak terkecuali TNI terutama Angkatan Laut, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan lembaga terkait lainnya. Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang baik antar lembaga untuk mengelola Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi lebih baik.
Di samping itu tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan beberapa negara tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada konflk internasional. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi perhatian dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi.
Berkaitan dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang dialami Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki “Pulau-pulau tak bernama”, membuka peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi secara militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat lemah kekuatan armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusianya. Ketiga, tidak adanya negosiator yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di forum internasional.
Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran domestik untuk menjaga teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis pangkal pantai (internal waters) dan alur laut nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera dilakukan untuk mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal ini memerlukan political will pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-menerus, pendudukan intensif dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tidak terpenuhinya unsur-unsur itu menyebabkan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia.
Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-state conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim berkait batas-batas nasional dan teritorial.
Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali pada saat- saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal, kelengahan pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan Sipadan-Ligitan.
Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh pada tingkat kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari luar negeri. Kemampuan militer armada laut kita amat minim apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan peralatan militer yang “tidak layak tempur” karena usia tua dengan rata-rata pembuatan akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alat utama sistem persenjataan merupakan “besi tua yang mengambang” dan tidak mampu melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh.
Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan militer kita amat jauh dari standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal, terdiri dari berbagai tipe dengan rentang waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal buatan tahun 1967 direkondisi tahun 1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi keamanan laut nasional Indonesia sepanjang 613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli. Dari armada yang dimiliki TNI AL itu, 39 kapal berusia lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia 21-30 tahun, 24 kapal berusia 11-20 tahun, dan delapan kapal berusia kurang dari 10 tahun.
Dalam relasi dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur diplomatis menjadi pilihan utama dan logis.
Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik menaruh pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita. Apalagi, sepertinya kita lalai dalam merawat perbatasan. Atas dasar alasan itu, bisa jadi wilayah-wilayah lain akan menyusul. Pemerintah juga tidak memiliki upaya proaktif, dan cenderung reaktif dalam forum diplomatik untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, termasuk persoalan perbatasan di forum internasional.
Hal ini terlihat dari minimalnya perhatian pemerintah terhadap persoalan perbatasan dan kedaulatan RI atas negara lain. Contoh yang paling nyata, tiadanya penamaan atas pulau-pulau “tak bernama’ yang tersebar di wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi alasan-alasan, misalnya, terkait pelestarian lingkungan yang masih jauh dari perhatian Pemerintah Indonesia.

 

 

2.3 Teori Mengenai Metode Penyelesaian Sengketa Internasional


Teory mengenai metode penyelesaian sengketa internasional (methods of international settlement disputes) di bagi dua bagian yaitu metode diplomasi dan secara huklum, lebih jelasnya di jelaskan seperti di bawah ini:

1. Metode Diplomasi (Diplomatic Method):
a. Negosiasi (negotiation)
Negosiasi adalah perundingan yang dilakukan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling tuas digunakan oleh umat manusia. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menempatkan negosiasi sebagai cara pertama dalam menyelesaikan sengketa.

b. Pencarian Fakta (fact-finding atau inquiry)
Sengketa yang dihadapi oleh para pihak pada intinya adalah mempersengketakan perbedaan mengenai fakta, maka untuk meluruskan perbedaan tersebut diperlukan campur tangan pihak lain untuk menyelidiki kedudukan fakta yang sebenarnya. Biasanya para pihak tidak meminta pengadilan tetapi meminta pihak ketiga sifatnya kurang formal. Cara ini biasanya ditempuh manakala cara-cara konsultasi atau negosiasi telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Dengan cara ini, pihak ketiga akan berupaya melihat suatu permasalahan dari semua sudut guna memberikan penjelasan mengenai kedudukan para pihak.

c. Jasa-Jasa Baik (good offices)
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (group or individual), negara atau kelompok negara atau organisasi internasional.
Dalam jasa-jasa baik, pihak ketiga terlibat tanpa memainkan peranan yang aktif dalam arti dia tidak ikut secara langsung dalam perundingan-perundingan tetapi hanya menyiapkan dan mengambil langkah-langkah yang perlu agar para pihak yang bersengketa dapat bertemu satu sama lain dan merundingkan sengketanya. Bila para pihak yang bersengketa telah setuju untuk saling bertemu maka berakhir pulalah misi negara yang menawarkan jasa-jasa baiknya tersebut, contoh: atas jasa-jasa baik Perancis, Menlu Henry Kissinger mengadakan perundingan dengan Menlu Vietnam Le Duc Tho pada bulan Januari 1973 untuk mengakhiri Perang Vietnam.
Pelaksanaan jasa-jasa baik (good offices) dapat disatukan dengan mediasi (mediation) pelaksanaannya dapat disatukan/digabungkan, contoh: Kasus Iran (1979) --- kedua belah pihak tidak berbicara secara langsung satu sama lain. Dalam kasus ini Aljazair bertindak sebagai mediator dan menghasilkan Algier Accord sebagai dasar pembentukan “The Iran-USA Claims Tribunal in the Hague (1981)”.

d. Mediasi (mediation)
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (group or individual), negara atau kelompok negara atau organisasi internasional.
Dalam mediasi, negara ketiga bukan hanya sekedar mengusahakan agar para pihak yang bersengketa saling bertemu, tetapi juga mengusahakan dasar-dasar perundingan dan ikut aktif dalam perundingan, contoh: mediasi yang dilakukan oleh Komisi Tiga Negara (Australia, Amerika, Belgia) yang dibentuk oleh PBB pada bulan Agustus 1947 untuk mencari penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda dan juga mediasi yang dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter untuk mencari penyelesaian sengketa antara Israel dan Mesir hingga menghasilkan Perjanjian Camp David 1979. Dengan demikian, dalam mediasi pihak ketiga terlibat secara aktif (more active and actually takes part in the negotiation).Determination made by third party is not binding unless they have so agreed.

e. Konsiliasi (conciliation)
Konsiliasi merupakan suatu cara penyelesaian sengketa oleh suatu organ yang dibentuk sebelumnya atau dibentuk kemudian atas kesepakatan para pihak yang bersengketa. Organ yang dibentuk tersebut mengajukan usul-usul penyelesaian kepada para pihak yang bersengketa (to the ascertain the facts and suggesting possible solution). Rekomendasi yang diberikan oleh organ tersebut tidak bersifat mengikat (the recommendation of the commission is not binding).
Contoh dari konsiliasi adalah pada sengketa antara Thailand dan Perancis, kedua belah pihak sepakat untuk membentuk Komisi Konsiliasi. Dalam kasus ini Thailand selalu menuntut sebagian dari wilayah Laos dan Kamboja yang terletak di bagian Timur tapal batasnya. Karena waktu itu Laos dan Kamboja adalah protektorat Perancis maka sengketa ini menyangkut antara Thailand dan Perancis.

 

2.3.1    Penyelesaian Sengketa Internasional Dengan Cara Hukum


a. Arbitrase
Arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa melalui keputusan yang mengikat yang didasarkan atas hukum dan sebagai hasil dari penerimaan secara sukarela (a procedure for the settlement of disputes between states by a binding award on the basis of law and as a result of an undertaking voluntarily accepted).

b. Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
Mahkamah Internasional (ICJ) sebagai badan peradilan dunia yang berkedudukan di Den Haag dewasa ini memainkan peranan yang sangat penting di dalam mencegah pertikaian antarnegara. Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan kelanjutan dari Mahkamah Tetap Peradilan Internasional (PCIJ) yang dibentuk berdasarkan Pasal XIV Covenant LBB. Pembentukan Mahkamah yang baru ini (ICJ) sama sekali bukanlah berarti bahwa Mahkamah yang lama (PCIJ) gagal dalam menjalankan tugasnya. Terbukti dari tahun 1922 sampai dengan tahun 1940, Mahkamah Tetap (PCIJ) telah memutuskan 31 perkara dan menyampaikan 27 pendapat tidak mengikat (advisory opinion).
Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan bagian integral dari PBB. Menurut Pasal 92 Piagam PBB: “Mahkamah Internasional merupakan organ hukum utama PBB”. Karena Mahkamah Internasional merupakan bagian integral dari PBB, maka secara otomatis semua anggota PBB merupakan anggota Statuta Mahkamah Internasional. Hal ini berbeda dengan LBB: Pakta (Covenant) LBB dan Statuta Mahkamah Tetap (PCIJ) merupakan dua naskah yang terpisah sama sekali.
Penyelesaian sengketa yang Diambil antara Malaysia dan Indonesia adalah dengan jalan mengambil metode kedua dalam hal metode hUkum dengan cara mengajukan persoalan sengketa kepada Mahkamah Internasional.
Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian sengketa jalur hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak yang bersengketa.
Selain arbitrase, lembaga lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui jalur hukum adalah pengadilan internasional. Pada saat ini ada beberapa pengadilan internasional dan pengadilan internasional regional yang hadir untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa internasional. Misalnya International Court of Justice (ICJ), International Criminal CourtInternational Tribunal on the Law of the SeaEuropean Court for Human Rights, dan lainnya.
Penyelesaian sengketa internasional melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak, misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan hukum acara yang digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan internasional, maka para pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak yang bersengketa.

2.4       Cara atau Sikap yang Harus Dilakukan Indonesia Jika

         Mengatasi Kasus yang Sama


Dalam mengantisipasi negosiasi pada tahap berikutnya,maka perlu terus dilakukan pengkajian mendalam untuk memperkuat posisi tawar menawar kita. Landasan hukum yang kuat akan menjadi modal dasarnya, namun harus didukung dengan kepiawaian dalam seni bernegosiasi untuk menyakinkan pihak lawan. Apabila atas dasar hasil kajian yang mendalam dan komprehensif, posisi Indonesia secara yuridis sangat kuat, maka penyelesaian secara hukum harus tetap dibuka kemungkinannya. Dengan alasan apapun, opsi perangsebaiknya tidak digunakan
Untuk mencegah berulangnya kejadian serupa, maka Pemerintah Indonesia harus menangani secara lebih serius masalah wilayah perbatasan dan pulau- pulau yang berbatasan dengan negara tetangga.Bayangkan saja untuk memperjuangkan Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional harus keluar dana lebih dari Rp16 miliar. Dan itu bukan uang yang sedikit terlebih lagi kehilangan satu pulau berarti ancaman terhadap integritas wilayah Indonesia. Hal ini penting, karena sengketa pulau yang dimiliki Indonesia bukan saja Sipadan-Ligitan, tetapi banyak pulau lainnya. Selain itu, ini juga bisa menjadi preseden buruk terhadap pertanggungjawaban pemerintah untuk mempertahankan eksistensi keutuhan wilayah.
Miskin ahli hukum internasional, Hilangnya Pulau Sipadan dan Lingitan di Mahkamah Internasional, menjadi pelajaran yang sangat berharga sekali, harus diakui bahwa pemerintah memang tidak menggunakan bantuan dari pengacara atau pakar hukum internasional dari Indonesia, kecuali ahli-ahli dari Deplu sendiri. Dari sekian ribu pengacara yang ada di Indonesia, menurut Havas, belum ada satupun yang memiliki keterampilan yang memadai untuk berlaga di Mahkamah Internasional. Salah satunya adalah memperkuat dan memperbanyak ahli hukum yang menguasai pengetahuan tentang hukum internasional. Menurut Director of Treaties on Political, Security and Teritorial Affairs Deplu, Arif Havas Oegroseno, Indonesia minim sekali orang yang ahli di bidang hukum internasional. Namun,  tidak seharusnya ketiadaan para pakar hukum internasional membuat kita menjadi tidak percaya diri.
Jangan menggunakan pengacara asing karena, Selain itu, ia juga berpendapat bahwa pengacara dalam negeri memiliki sense of belonging yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengacara asing. Sedangkan, pengacara-pengacara asing relatif melihat kasus tersebut dari sisi bisnisnya semata

 

BAB III PENUTUP


Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam menentukan kedaulatan di Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai,dimana Indonesia dan Malaysia memilih Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan sengketa ini, dasar hukum di dalam penyelesaian sengketa ini adalah pasal 2 ayat 3 dan pasal 33 Piagam PBB.
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan disebabkan karena adanya ketidakjelasan garis perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu dari Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo, sehingga pada saat Indonesia dan Malaysia berunding untuk menentukan garis perbatasan kedua negara di Pulau Borneo, masalah ini muncul karena kedua pihak saling mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan.
Berbagai pertemuan bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam upaya melakukan pemecahan atas sengketa ini namun sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua negara sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah Internasional. Berbagai macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua pihak dalam persidangan di Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan milik Malaysia atas dasar prinsip okupasi, dimana Malaysia dan Inggris sebagai negara pendahulu lebih banyak melaksanakan efektifitas di Pulau Sipadan dan Ligitan.



1)      Adolf Huala, 2006 , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika Jakarta.
2)      Buana Satria Mirza, 2007 , Hukum Internasional Teori dan Praktek, FH unlam press: Banjarmasin
3)      Harun,Djaenuddin,dkk. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
4)      Iskandar Encang,2004. Pendidikan kewarganegaraan.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
5)      Moh Burhan Tsani,1990, Hukum dan Hubungan Internasional.Liberty:Yogyakarta
6)      Rifdan,dkk. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Makassar: Ikatan dosen pendidikan Kewarganegaraan.
7)      Sumaryo Suryokusumo, 1997, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Alumni:Bandung


Tugas Softskill Penelitian Ilmiah mengenai "Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan Merupakan Keuntungan Untuk Malaysia dan Kerugian Bagi Indonesia"



KASUS PULAU SIPADAN DAN LIGITAN MERUPAKAN KEUNTUNGAN UNTUK MALAYSIA DAN KERUGIAN BAGI INDONESIA
logo_gunadarma.jpg
 









                                                                                                                                                    

DI SUSUN OLEH:


NAMA                       : PUTRI AYUNIAH
NPM                           : 15211637
KELAS                      : 2EA14



FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2013


KASUS PULAU SIPADAN DAN LIGITAN MERUPAKAN KEUNTUNGAN UNTUK MALAYSIA DAN KERUGIAN BAGI INDONESIA



                                               DI SUSUN OLEH:
            NAMA                       : PUTRI AYUNIAH
NPM                           : 15211637
KELAS                      : 2EA14
JURUSAN                 : MANAJEMEN
Karya tulis ini diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas dan Ujian Tengah Semester mata kuliah Pendidikan Pancasila



   








     FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2013
KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis diberikan kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan Penelitian ilmiah yang berjudul “Kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan keuntungan untuk Malaysia dan kerugian bagi Indonesia”. tujuan penulis menyusun penelitian ilmiah ini adalah untuk mengetahui seberapa penting peranan mahkamah internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional antara ke dua Negara tersebut yaitu Indonesia dan Malaysia serta mengetahui apa penyebab awal perebutan pulau-pulau tersebut.
            Penelitian Ilmiah ini disusun guna memenuhi kelengkapan tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila. Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, baik bantuan dalam bentuk moril ataupun material antara lain penulis tujukan kepada :
  1. Bapak Djumharjinis selaku dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila.
  2. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan doa dan motivasi.
  3. Serta kepada teman-teman Jurusan Manajemen angkatan 2011.
     Dengan disusunnya penelitian ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada berbagai pihak yang membutuhkannya. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan pembuatan makalah ilmiah ini untuk masa yang akan datang.
Semoga makalah ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Depok,21 April 2013
Penyusun


(Putri Ayuniah)

 

DAFTAR ISI




1.6 Sistematika Penulisan...................................................................................................................6








BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1              Latar Belakang


Sebagai negara kepulauan dengan masyarakatnya yang berbhineka, negara Indonesia memiliki unsur–unsur kekuatan sekaligus kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan geografi yang strategis dan kaya akan sumber daya alam (SDA). Sementara kelemahannya terletak pada wujud kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan dalam satu bangsa satu negara dan satu tanah air. Negara bagaikan suatu organisme. Ia tidak bisa hidup sendiri. Keberlangsungan hidupnya ikut dipengaruhi oleh negara-negara lain, terutama Negara-negara tetangga atau negara yang berada dalam satu kawasan dengannya. Seperti kasus yang akan dibahas tentang perebuatn pulau dengan negara tetangga yaitu Malaysia yang masih berada satu kawasan dengan Indonesia.
Konflik Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52,86″LU 118°37′43,52″BT dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′LU 118°53′BT. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.
Untuk itulah diperlukan satu sistem perpolitikan yang mengatur hubungan antar negara-negara yang letaknya berdekatan diatas permukaan bumi ini. Sistem politik tersebut dinamakan geopolitik yang mutlak dimiliki dan diterapkan oleh setiap negara di sekitanya tak terkecuali Indonesia. Indonesia pun harus memiliki sistem geopolitik yang cocok diterapkan dengan kondisi kepulauannya yang unik dan letak geografis negara Indonesia diatas permukaan planet bumi.geopolitik Indonesia tiada lain adalah wawasan nusantara. Wawasan nusantara tidak mengandung unsur-unsur kekerasan, cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan ide nasionalnya yang dilandasi pancasila dan UUD 1945 yang merupakan aspirasi bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan bermartabat serta menjiwai tata hidup dan tindak kebijaksanaanya dalam mencapai tujuan nasional.
Dalam hal ini sebagai warga negara Indonesia yang baik yang menerapkan geopolitik wajib ikut untuk melestarikan dan menjaga keutuhan wilayah negara. Dan tidak dapat dipungkiri di Indonesia bergulir konflik perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan dengan Negara tetangga yaitu Malaysia. Sebenarnya antara Indonesia dengan Malaysia tidak hanya terjadi konflik perebutan Pulau atau wilayah negara saja tetapi pernah juga terjadi konflik perebutan kebudayaan,makanan khas,lagu-lagu daerah. Dan yang terus bergulir dalam konflik perebutan pulau ini salah satunya Pulau Sipadan dan Ligitan. Masing-masing pihak saling mengklaim bahwa pulau-pulau tersebut berada di wilayah perariran negara mereka masing-masing. Sehingga pada akhirnya kasus ini menarik untuk saya bahas.

 

1.2              Rumusan Masalah


1.      Langkah apa yang diambil Malaysia dan Indonesia dalam menyelesaikan sengketa kedaulatan diantara keduanya?
2.      Kenapa Indonesia kalah dalam kasus tersebut padahal peluang Indonesia-Malaysia adalah fity-fifty?
3.      Bagaimanakah sikap yang seharusnya diambil Indonesia untuk kedepannya jika mengatasi kasus yang sama?

 

1.3              Batasan Masalah


Dalam hal ini pembahasan menegenai kasus perebutan wilayah terbatas hanya pada kasus sengketa perebutan pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia .

1.4              Tujuan Penulisan


1.         Untuk memenuhi tugas Pendidikan Kewarganegaraan
2.         Untuk dijadikan bahan dalam kegiatan diskusi.
3.         Untuk mengetahui sebab terjadinya konflik perebutan pulau Sipadan dan Ligitan

1.5              Metode dan teknik penulisan


Metode dan teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi yang bersifat teoritis yang kemudian data tersebut akan dijadikan dasar atau pedoman untuk melihat adanya ketidaksesuaian antara teori dengan kenyataan sebagai penyebab dari permasalahan yang dibahas dalam karya tulis ini. Sumber – sumber yang dijadikan sebagai rujukan untuk studi pustaka diperoleh dari berbagai sumber bacaan.


1.6        Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut :

BAB I : Merupakan bagian pendahuluan yang latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, metode dan tehnik penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II: Merupakan pembahasan yang menguraikan tentang tema yang dibahas berdasarkan hasil pengolahan data dan informasi dari berbagai sumber buku.

BAB III : Merupakan bagian akhir dari karya tulis ini dalam bentuk kesimpulan hasil dan saran – saran yang disampaikan.


                                                           

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Posisi Kasus


Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan untuk pertama kali muncul ketika dilangsungkan perundingan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada 9-22 September 1969, karena Malaysia mengklaim pemilik kedua pulau tersebut. Sebelum 1969 kedua belah pihak menghormati Konvensi 1891 antara Inggris dan Belanda yang menetapkan garis batas 40 10’ Lintang Utara (LU) bagi kedua negara. Indonesia berpendirian bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan yang terletak di sebelah Selatan garis itu merupakan wilayah Indonesia.  Serangkaian perjanjian, lobi, diplomasi berlangsung dengan cara “Asian Way”, sebuah cara yang mengedepankan dialog, dengan menghindari konflik militer. Akhirnya masalah itu menjadi redam dalam  tanda kutip, artinya dialog tentang perselisihan itu dicoba dilakukan dengan cara musyawarah.
Indonesia pada waktu itu tampaknya terlalu terbuai dengan model seperti itu sehingga Indonesia tiba-tiba terkejut ketika pada bulan Oktober  tahun 1991, Malaysia tiba-tiba mengeluarkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah Malaysia, dan tragisnya Indonesia juga tidak tahu kalau di Sipadan telah dibangun tourisme dan arena diving yang sangat bagus . Kemudian pada tahun 1997 Indonesia dan Malaysia bersepakat untuk menyerahkan masalah tersebut ke International Court of Justice, the Hague di Belanda.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den & Overbeck-BNBC-Malaysia.
Sengketa ini lalu dibicarakan dalam pertemuan antara Presiden Soeharto dan PM Mahathir Muhamad di Yogyakarta pada 1989. Melalui berbagai pertemuan dalam beberapa tahun, kedua belah pihak berkesimpulan sengketa ini sulit untuk diselesaikan secara bilateral
Karena itu kedua belah pihak setuju untuk mengajukan penyelesaian ini ke Mahkamah Internasional dengan menandatangai ”Perjanjian Khusus untuk diajukan ke Mahkamah Internasional dalam Sengketa antara Indonesia dan Malaysia menyangkut kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Sipdan,” di Kuala Lumpur pada 31 Mei 1997. Melalui surat bersama perjanjian ini kasus sengketa ini disampaikan ke Mahkamah Internasional di Den Haag pada 2 November 1998.
Kedua belah pihak mempercayai Mahkamah Internasional akan mengambil keputusan yang adil mengenai siapa yang berdaulat atas kedaulatan Pulau Ligitan dan Sipadan, berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den&Overbeck-BNBC-Malaysia. Malaysia juga berpendirian bahwa kedaulatannya atas kedua pulau tersebut berdasarkan fakta bahwa Inggris dan kemudian Malaysia sejak 1878 secara damai terus menerus mengadministrasi kedua pulau itu.
Di depan Mahkamah Internasional, untuk membuktikan klaimnya, kedua belah pihak harus memenuhi prosedur, antara lain menyampaikan pembelaan tertulis dan memori, memori banding dan replik. sampai memasuki tahap penyampaian pembelaan lisan.
Pembelaan lisan terbagi dua, yaitu putaran pertama pada 3 dan 4 Juni 2002 Indonesia menyampaikan pembelaannya pada dengar pendapat terbuka. Menyusul Malaysia pada 6 dan 7 Juni. Sedang putaran kedua pada 10 Juni untuk Indonesia dan pada 12 Juni jawaban Malaysia. Mengenai cara-cara menyampaikan perkara, batas waktu penyampaian pembelaan tertulis dan lisan tertera dalam Statuta ICJ. Pembelaan lisan ini, sebagai kelanjutan pembelaaan tertulis yang berakhir pada Maret 2000, akan berlangsung sampai 12 Juni 2002
Pemerintah Indonesia berpendirian bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan wilayah Indonesia. Selain itu, Indonesia tetap mengajukan protes sambil menahan diri untuk tidak melakukan klaim sepihak seperti yang dilakukan Malaysia selama ini atas kedua pulau di lepas pulau Kalimantan tersebut. Demikian salah satu kesimpulan yang diutarakan Menlu saat menyampaikan argumentasi lisan di hadapan hakim pengadilan internasional di Den Haag.
Kendati sedang bersengketa, Hassan menyataka bahwa hubungan Indonesia dengan Malaysia masih berlangsung dengan sangat baik. ”Kembali kepada sisi yang positif, Indonesia memperhatikan bahwa kendati terdapat perbedaan-perbedaan dengan Malaysia, hubungan antara kedua negara tetap berjalan sangat baik dan kedua negara telah bersikap arif untuk menyelesaikan sengketa (Sipadan dan Ligitan) secara bersama kepada yurisdiksi Mahkamah Internasional
Hassan, selaku pemegang kuasa hukum (Agent) Indonesia dalam kasus sengketa Sipadan dan Ligitan, yaitu bahwa adanya tindakan sepihak Malaysia pada tahun 1979 yang tidak mencerminkan adanya ”good faith,” diantaranya dengan cara menerbitkan peta yang memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah nasionalnya. ”Dan akhirnya dengan membangun sejumlah fasilitas wisata di Sipadan. Tindakan-tindakan ini secara fundamental tidak selaras dengan sikap menahan diri atau ‘status quo.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den & Overbeck-BNBC-Malaysia.
Pada tanggal 17 Desember 2002 lalu, Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan, Pulau Sipadan dan Ligitan adalah wilayah Malaysia berdasar kenyataan, Inggris dan Malaysia dianggap telah melaksanakan kedaulatan yang lebih "efektif" atas pulau itu sebelum tahun 1969.
Indonesia menghormati keputusan itu, apalagi karena Pasal 5 Persetujuan 1997 tegas menyatakan, kedua pihak agree to accept the judgement of the Court given pursuant to this Special Agreement as final and binding upon th.

2.1.1    Putusan Mahkamah Internasional


Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[8] [9] kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
2.1.2       Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional          

 1. Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
2. Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
3. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa

 

2.2       Pembahasan


 Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan hampir semua negara tetangganya.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.
Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu dibawah kepemiminan Mentri Luar Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan Sipadan-Ligitan dengan kekuatan diplomasinya. Memang masih banyak revisi dan peninjauan yang harus dilakukan para diplomat kita dan juga cara Deplu dalam menangani masalah internasional.
Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan deplu sebagai satu-satunya pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan dan Ligitan, mengingat kronologi konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur lebih dari empat dasawarsa tersebut. Kedua negara telah melakukan pertemuan-pertemuan baik formal maupun informal, secara bilateral maupun melalui ASEAN dalam menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan sejak tahun 1967. Indonesia dan Malaysia juga sama-sama kuat dalam mengajukan bukti historis terhadap klaim mereka masing-masing. Akhirnya pada tanggal 31 Mei 1997 pada akhir masa pemerintahan Soeharto, Soeharto menyepakati untuk menyerahkan masalah yang tak kunjung selesai ini ke mahkamah internasional dengan pertimbangan untuk menjaga solidaritas sesama negara kawasan dan penyelesaian dengan cara damai. Perlu kita tahu di sini adalah selama jangka waktu yang panjang tersebut pihak Republik Indonesia tidak pernah melakukan suatu usaha apapun dalam melakukan manajemen dan pemeliharaan atas Sipadan-Ligitan. Kita seolah mengabaikan kenyataan bahwa secara “de facto” pulau tersebut telah efektif dikuasai oleh Malaysia. Bahkan sejak tahun 1974 Malaysia sudah mulai merancang dan membangun infra struktur Ssipadan-Ligitan lengkap dengan fasilitas resort wisata. Kita seakan membiarkan saja hal ini terjadi tanpa melakukan apapun atau bahkan melakukan hal yang sama. Kesalahan kita ialah kita terlalu cukup percaya diri dengan bukti yuridis yang kita miliki dan bukti bahwa mereka yang bertempat tinggal di sana adalah orang-orang Indonesia. Tentu saja bukti ini sangat lemah mengingat bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia berasal dari rumpun yang sama dan agaknya cukup sulit membedakan warga Indonesia dan warga Malaysia dengan hanya berdasarkan penampilan fisik maupun bahasa yang dipergunakannya. Terlebih lagi sudah menjadi ciri khas di daerah perbatasan bahwa biasanya penduduk setempat merupakan penduduk campuran yang berasal dari kedua negara.
Melihat pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah internasional, ternyata bukti historis kedua negara kurang dipertimbangkan. Yang menjadi petimbangan utama dari mahkamah internasional adalah keberadaan terus-menerus dalam (continuous presence), penguasaan efektif (effectrive occupation) dan pelestarian alam (ecology preservation). Ironisnya ternyata hal-hal inilah yang kurang menjadi perhatian dari pihak Indonesia. Apabila ditelaah lebih dalam, seharusnya ketiga poin di atas ialah wewenang dan otoritas dari Departemen Luar Negeri beserta instansi lainnya yang berkaitan, tidak terkecuali TNI terutama Angkatan Laut, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan lembaga terkait lainnya. Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang baik antar lembaga untuk mengelola Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi lebih baik.
Di samping itu tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan beberapa negara tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada konflk internasional. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi perhatian dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi.
Berkaitan dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang dialami Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki “Pulau-pulau tak bernama”, membuka peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi secara militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat lemah kekuatan armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusianya. Ketiga, tidak adanya negosiator yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di forum internasional.
Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran domestik untuk menjaga teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis pangkal pantai (internal waters) dan alur laut nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera dilakukan untuk mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal ini memerlukan political will pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-menerus, pendudukan intensif dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tidak terpenuhinya unsur-unsur itu menyebabkan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia.
Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-state conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim berkait batas-batas nasional dan teritorial.
Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali pada saat- saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal, kelengahan pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan Sipadan-Ligitan.
Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh pada tingkat kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari luar negeri. Kemampuan militer armada laut kita amat minim apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan peralatan militer yang “tidak layak tempur” karena usia tua dengan rata-rata pembuatan akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alat utama sistem persenjataan merupakan “besi tua yang mengambang” dan tidak mampu melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh.
Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan militer kita amat jauh dari standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal, terdiri dari berbagai tipe dengan rentang waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal buatan tahun 1967 direkondisi tahun 1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi keamanan laut nasional Indonesia sepanjang 613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli. Dari armada yang dimiliki TNI AL itu, 39 kapal berusia lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia 21-30 tahun, 24 kapal berusia 11-20 tahun, dan delapan kapal berusia kurang dari 10 tahun.
Dalam relasi dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur diplomatis menjadi pilihan utama dan logis.
Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik menaruh pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita. Apalagi, sepertinya kita lalai dalam merawat perbatasan. Atas dasar alasan itu, bisa jadi wilayah-wilayah lain akan menyusul. Pemerintah juga tidak memiliki upaya proaktif, dan cenderung reaktif dalam forum diplomatik untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, termasuk persoalan perbatasan di forum internasional.
Hal ini terlihat dari minimalnya perhatian pemerintah terhadap persoalan perbatasan dan kedaulatan RI atas negara lain. Contoh yang paling nyata, tiadanya penamaan atas pulau-pulau “tak bernama’ yang tersebar di wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi alasan-alasan, misalnya, terkait pelestarian lingkungan yang masih jauh dari perhatian Pemerintah Indonesia.

 

 

2.3 Teori Mengenai Metode Penyelesaian Sengketa Internasional


Teory mengenai metode penyelesaian sengketa internasional (methods of international settlement disputes) di bagi dua bagian yaitu metode diplomasi dan secara huklum, lebih jelasnya di jelaskan seperti di bawah ini:

1. Metode Diplomasi (Diplomatic Method):
a. Negosiasi (negotiation)
Negosiasi adalah perundingan yang dilakukan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling tuas digunakan oleh umat manusia. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menempatkan negosiasi sebagai cara pertama dalam menyelesaikan sengketa.

b. Pencarian Fakta (fact-finding atau inquiry)
Sengketa yang dihadapi oleh para pihak pada intinya adalah mempersengketakan perbedaan mengenai fakta, maka untuk meluruskan perbedaan tersebut diperlukan campur tangan pihak lain untuk menyelidiki kedudukan fakta yang sebenarnya. Biasanya para pihak tidak meminta pengadilan tetapi meminta pihak ketiga sifatnya kurang formal. Cara ini biasanya ditempuh manakala cara-cara konsultasi atau negosiasi telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Dengan cara ini, pihak ketiga akan berupaya melihat suatu permasalahan dari semua sudut guna memberikan penjelasan mengenai kedudukan para pihak.

c. Jasa-Jasa Baik (good offices)
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (group or individual), negara atau kelompok negara atau organisasi internasional.
Dalam jasa-jasa baik, pihak ketiga terlibat tanpa memainkan peranan yang aktif dalam arti dia tidak ikut secara langsung dalam perundingan-perundingan tetapi hanya menyiapkan dan mengambil langkah-langkah yang perlu agar para pihak yang bersengketa dapat bertemu satu sama lain dan merundingkan sengketanya. Bila para pihak yang bersengketa telah setuju untuk saling bertemu maka berakhir pulalah misi negara yang menawarkan jasa-jasa baiknya tersebut, contoh: atas jasa-jasa baik Perancis, Menlu Henry Kissinger mengadakan perundingan dengan Menlu Vietnam Le Duc Tho pada bulan Januari 1973 untuk mengakhiri Perang Vietnam.
Pelaksanaan jasa-jasa baik (good offices) dapat disatukan dengan mediasi (mediation) pelaksanaannya dapat disatukan/digabungkan, contoh: Kasus Iran (1979) --- kedua belah pihak tidak berbicara secara langsung satu sama lain. Dalam kasus ini Aljazair bertindak sebagai mediator dan menghasilkan Algier Accord sebagai dasar pembentukan “The Iran-USA Claims Tribunal in the Hague (1981)”.

d. Mediasi (mediation)
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (group or individual), negara atau kelompok negara atau organisasi internasional.
Dalam mediasi, negara ketiga bukan hanya sekedar mengusahakan agar para pihak yang bersengketa saling bertemu, tetapi juga mengusahakan dasar-dasar perundingan dan ikut aktif dalam perundingan, contoh: mediasi yang dilakukan oleh Komisi Tiga Negara (Australia, Amerika, Belgia) yang dibentuk oleh PBB pada bulan Agustus 1947 untuk mencari penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda dan juga mediasi yang dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter untuk mencari penyelesaian sengketa antara Israel dan Mesir hingga menghasilkan Perjanjian Camp David 1979. Dengan demikian, dalam mediasi pihak ketiga terlibat secara aktif (more active and actually takes part in the negotiation).Determination made by third party is not binding unless they have so agreed.

e. Konsiliasi (conciliation)
Konsiliasi merupakan suatu cara penyelesaian sengketa oleh suatu organ yang dibentuk sebelumnya atau dibentuk kemudian atas kesepakatan para pihak yang bersengketa. Organ yang dibentuk tersebut mengajukan usul-usul penyelesaian kepada para pihak yang bersengketa (to the ascertain the facts and suggesting possible solution). Rekomendasi yang diberikan oleh organ tersebut tidak bersifat mengikat (the recommendation of the commission is not binding).
Contoh dari konsiliasi adalah pada sengketa antara Thailand dan Perancis, kedua belah pihak sepakat untuk membentuk Komisi Konsiliasi. Dalam kasus ini Thailand selalu menuntut sebagian dari wilayah Laos dan Kamboja yang terletak di bagian Timur tapal batasnya. Karena waktu itu Laos dan Kamboja adalah protektorat Perancis maka sengketa ini menyangkut antara Thailand dan Perancis.

 

2.3.1    Penyelesaian Sengketa Internasional Dengan Cara Hukum


a. Arbitrase
Arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa melalui keputusan yang mengikat yang didasarkan atas hukum dan sebagai hasil dari penerimaan secara sukarela (a procedure for the settlement of disputes between states by a binding award on the basis of law and as a result of an undertaking voluntarily accepted).

b. Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
Mahkamah Internasional (ICJ) sebagai badan peradilan dunia yang berkedudukan di Den Haag dewasa ini memainkan peranan yang sangat penting di dalam mencegah pertikaian antarnegara. Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan kelanjutan dari Mahkamah Tetap Peradilan Internasional (PCIJ) yang dibentuk berdasarkan Pasal XIV Covenant LBB. Pembentukan Mahkamah yang baru ini (ICJ) sama sekali bukanlah berarti bahwa Mahkamah yang lama (PCIJ) gagal dalam menjalankan tugasnya. Terbukti dari tahun 1922 sampai dengan tahun 1940, Mahkamah Tetap (PCIJ) telah memutuskan 31 perkara dan menyampaikan 27 pendapat tidak mengikat (advisory opinion).
Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan bagian integral dari PBB. Menurut Pasal 92 Piagam PBB: “Mahkamah Internasional merupakan organ hukum utama PBB”. Karena Mahkamah Internasional merupakan bagian integral dari PBB, maka secara otomatis semua anggota PBB merupakan anggota Statuta Mahkamah Internasional. Hal ini berbeda dengan LBB: Pakta (Covenant) LBB dan Statuta Mahkamah Tetap (PCIJ) merupakan dua naskah yang terpisah sama sekali.
Penyelesaian sengketa yang Diambil antara Malaysia dan Indonesia adalah dengan jalan mengambil metode kedua dalam hal metode hUkum dengan cara mengajukan persoalan sengketa kepada Mahkamah Internasional.
Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian sengketa jalur hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak yang bersengketa.
Selain arbitrase, lembaga lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui jalur hukum adalah pengadilan internasional. Pada saat ini ada beberapa pengadilan internasional dan pengadilan internasional regional yang hadir untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa internasional. Misalnya International Court of Justice (ICJ), International Criminal CourtInternational Tribunal on the Law of the SeaEuropean Court for Human Rights, dan lainnya.
Penyelesaian sengketa internasional melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak, misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan hukum acara yang digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan internasional, maka para pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak yang bersengketa.

2.4       Cara atau Sikap yang Harus Dilakukan Indonesia Jika

         Mengatasi Kasus yang Sama


Dalam mengantisipasi negosiasi pada tahap berikutnya,maka perlu terus dilakukan pengkajian mendalam untuk memperkuat posisi tawar menawar kita. Landasan hukum yang kuat akan menjadi modal dasarnya, namun harus didukung dengan kepiawaian dalam seni bernegosiasi untuk menyakinkan pihak lawan. Apabila atas dasar hasil kajian yang mendalam dan komprehensif, posisi Indonesia secara yuridis sangat kuat, maka penyelesaian secara hukum harus tetap dibuka kemungkinannya. Dengan alasan apapun, opsi perangsebaiknya tidak digunakan
Untuk mencegah berulangnya kejadian serupa, maka Pemerintah Indonesia harus menangani secara lebih serius masalah wilayah perbatasan dan pulau- pulau yang berbatasan dengan negara tetangga.Bayangkan saja untuk memperjuangkan Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional harus keluar dana lebih dari Rp16 miliar. Dan itu bukan uang yang sedikit terlebih lagi kehilangan satu pulau berarti ancaman terhadap integritas wilayah Indonesia. Hal ini penting, karena sengketa pulau yang dimiliki Indonesia bukan saja Sipadan-Ligitan, tetapi banyak pulau lainnya. Selain itu, ini juga bisa menjadi preseden buruk terhadap pertanggungjawaban pemerintah untuk mempertahankan eksistensi keutuhan wilayah.
Miskin ahli hukum internasional, Hilangnya Pulau Sipadan dan Lingitan di Mahkamah Internasional, menjadi pelajaran yang sangat berharga sekali, harus diakui bahwa pemerintah memang tidak menggunakan bantuan dari pengacara atau pakar hukum internasional dari Indonesia, kecuali ahli-ahli dari Deplu sendiri. Dari sekian ribu pengacara yang ada di Indonesia, menurut Havas, belum ada satupun yang memiliki keterampilan yang memadai untuk berlaga di Mahkamah Internasional. Salah satunya adalah memperkuat dan memperbanyak ahli hukum yang menguasai pengetahuan tentang hukum internasional. Menurut Director of Treaties on Political, Security and Teritorial Affairs Deplu, Arif Havas Oegroseno, Indonesia minim sekali orang yang ahli di bidang hukum internasional. Namun,  tidak seharusnya ketiadaan para pakar hukum internasional membuat kita menjadi tidak percaya diri.
Jangan menggunakan pengacara asing karena, Selain itu, ia juga berpendapat bahwa pengacara dalam negeri memiliki sense of belonging yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengacara asing. Sedangkan, pengacara-pengacara asing relatif melihat kasus tersebut dari sisi bisnisnya semata

 

BAB III PENUTUP


Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam menentukan kedaulatan di Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai,dimana Indonesia dan Malaysia memilih Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan sengketa ini, dasar hukum di dalam penyelesaian sengketa ini adalah pasal 2 ayat 3 dan pasal 33 Piagam PBB.
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan disebabkan karena adanya ketidakjelasan garis perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu dari Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo, sehingga pada saat Indonesia dan Malaysia berunding untuk menentukan garis perbatasan kedua negara di Pulau Borneo, masalah ini muncul karena kedua pihak saling mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan.
Berbagai pertemuan bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam upaya melakukan pemecahan atas sengketa ini namun sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua negara sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah Internasional. Berbagai macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua pihak dalam persidangan di Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan milik Malaysia atas dasar prinsip okupasi, dimana Malaysia dan Inggris sebagai negara pendahulu lebih banyak melaksanakan efektifitas di Pulau Sipadan dan Ligitan.



1)      Adolf Huala, 2006 , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika Jakarta.
2)      Buana Satria Mirza, 2007 , Hukum Internasional Teori dan Praktek, FH unlam press: Banjarmasin
3)      Harun,Djaenuddin,dkk. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
4)      Iskandar Encang,2004. Pendidikan kewarganegaraan.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
5)      Moh Burhan Tsani,1990, Hukum dan Hubungan Internasional.Liberty:Yogyakarta
6)      Rifdan,dkk. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Makassar: Ikatan dosen pendidikan Kewarganegaraan.
7)      Sumaryo Suryokusumo, 1997, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Alumni:Bandung