KASUS PULAU SIPADAN DAN LIGITAN
MERUPAKAN KEUNTUNGAN UNTUK MALAYSIA DAN KERUGIAN BAGI INDONESIA
DI SUSUN OLEH:
NAMA :
PUTRI AYUNIAH
NPM :
15211637
KELAS : 2EA14
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2013
KASUS PULAU SIPADAN DAN LIGITAN
MERUPAKAN KEUNTUNGAN UNTUK MALAYSIA DAN KERUGIAN BAGI INDONESIA
DI
SUSUN OLEH:
NAMA : PUTRI AYUNIAH
NPM :
15211637
KELAS :
2EA14
JURUSAN : MANAJEMEN
Karya
tulis ini diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas dan Ujian
Tengah Semester mata kuliah Pendidikan Pancasila
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat,
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis diberikan kemudahan dan kelancaran
dalam menyelesaikan Penelitian ilmiah yang berjudul “Kasus Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan merupakan keuntungan untuk Malaysia dan kerugian bagi Indonesia”.
tujuan penulis menyusun penelitian ilmiah ini adalah untuk mengetahui
seberapa penting peranan mahkamah internasional dalam menyelesaikan sengketa
internasional antara ke dua Negara tersebut yaitu Indonesia dan Malaysia serta
mengetahui apa penyebab awal perebutan pulau-pulau tersebut.
Penelitian Ilmiah ini disusun guna
memenuhi kelengkapan tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila. Pada kesempatan
ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, baik bantuan
dalam bentuk moril ataupun material antara lain penulis tujukan kepada :
- Bapak Djumharjinis
selaku dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila.
- Kedua orang tua
penulis yang selalu memberikan doa dan motivasi.
- Serta kepada
teman-teman Jurusan Manajemen angkatan 2011.
Dengan disusunnya penelitian ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi
kepada berbagai pihak yang membutuhkannya. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan
kritik yang membangun demi kesempurnaan pembuatan makalah ilmiah ini untuk masa
yang akan datang.
Semoga makalah ilmiah
ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Depok,21 April 2013
Penyusun
(Putri Ayuniah)
DAFTAR ISI
1.6 Sistematika
Penulisan...................................................................................................................6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sebagai
negara kepulauan dengan masyarakatnya yang berbhineka, negara Indonesia
memiliki unsur–unsur kekuatan sekaligus kelemahan. Kekuatannya terletak pada
posisi dan keadaan geografi yang strategis dan kaya akan sumber daya alam
(SDA). Sementara kelemahannya terletak pada wujud kepulauan dan keanekaragaman
masyarakat yang harus disatukan dalam satu bangsa satu negara dan satu tanah
air. Negara bagaikan suatu organisme. Ia tidak bisa hidup sendiri.
Keberlangsungan hidupnya ikut dipengaruhi oleh negara-negara lain, terutama
Negara-negara tetangga atau negara yang berada dalam satu kawasan dengannya. Seperti
kasus yang akan dibahas tentang perebuatn pulau dengan negara tetangga yaitu
Malaysia yang masih berada satu kawasan dengan Indonesia.
Konflik Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat
Makassar yaitu pulau
Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52,86″LU 118°37′43,52″BT dan pulau
Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′LU 118°53′BT.
Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN
namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.
Untuk
itulah diperlukan satu sistem perpolitikan yang mengatur hubungan antar
negara-negara yang letaknya berdekatan diatas permukaan bumi ini. Sistem
politik tersebut dinamakan geopolitik yang mutlak dimiliki dan diterapkan oleh
setiap negara di sekitanya tak terkecuali Indonesia. Indonesia pun
harus memiliki sistem geopolitik yang cocok diterapkan dengan kondisi
kepulauannya yang unik dan letak geografis
negara Indonesia diatas permukaan planet bumi.geopolitik Indonesia tiada
lain adalah wawasan nusantara. Wawasan nusantara tidak mengandung unsur-unsur
kekerasan, cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan
lingkungannya berdasarkan ide nasionalnya yang dilandasi pancasila dan UUD 1945
yang merupakan aspirasi bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan
bermartabat serta menjiwai tata hidup dan tindak kebijaksanaanya dalam mencapai
tujuan nasional.
Dalam hal ini sebagai
warga negara Indonesia yang baik yang menerapkan geopolitik wajib ikut untuk
melestarikan dan menjaga keutuhan wilayah negara. Dan tidak dapat dipungkiri di
Indonesia bergulir konflik perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan dengan Negara
tetangga yaitu Malaysia. Sebenarnya antara Indonesia dengan Malaysia tidak
hanya terjadi konflik perebutan Pulau atau wilayah negara saja tetapi pernah
juga terjadi konflik perebutan kebudayaan,makanan khas,lagu-lagu daerah. Dan
yang terus bergulir dalam konflik perebutan pulau ini salah satunya Pulau
Sipadan dan Ligitan. Masing-masing pihak saling mengklaim bahwa pulau-pulau
tersebut berada di wilayah perariran negara mereka masing-masing. Sehingga pada
akhirnya kasus ini menarik untuk saya bahas.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Langkah apa
yang diambil Malaysia dan Indonesia dalam menyelesaikan sengketa
kedaulatan diantara keduanya?
2.
Kenapa Indonesia kalah dalam kasus
tersebut padahal peluang Indonesia-Malaysia adalah fity-fifty?
3.
Bagaimanakah sikap yang seharusnya
diambil Indonesia untuk kedepannya jika mengatasi kasus yang sama?
1.3
Batasan Masalah
Dalam hal ini
pembahasan menegenai kasus perebutan wilayah terbatas hanya pada kasus sengketa
perebutan pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia .
1.4
Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas Pendidikan
Kewarganegaraan
2.
Untuk dijadikan bahan dalam
kegiatan diskusi.
3. Untuk mengetahui sebab terjadinya
konflik perebutan pulau Sipadan dan Ligitan
1.5
Metode dan teknik penulisan
Metode dan teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan
karya tulis ini adalah metode studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk
mendapatkan data dan informasi yang bersifat teoritis yang kemudian data
tersebut akan dijadikan dasar atau pedoman untuk melihat adanya ketidaksesuaian
antara teori dengan kenyataan sebagai penyebab dari permasalahan yang dibahas
dalam karya tulis ini. Sumber – sumber yang dijadikan sebagai rujukan untuk
studi pustaka diperoleh dari berbagai sumber bacaan.
1.6
Sistematika Penulisan
Sistematika
penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut :
BAB I : Merupakan bagian pendahuluan yang latar belakang masalah, perumusan
masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, metode dan tehnik penulisan serta
sistematika penulisan.
BAB II: Merupakan pembahasan yang menguraikan tentang tema yang dibahas
berdasarkan hasil pengolahan data dan informasi dari berbagai sumber buku.
BAB III : Merupakan bagian akhir dari karya tulis ini dalam bentuk kesimpulan
hasil dan saran – saran yang disampaikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Posisi Kasus
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan untuk pertama
kali muncul ketika dilangsungkan perundingan batas landas kontinen antara
Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada 9-22 September 1969, karena
Malaysia mengklaim pemilik kedua pulau tersebut. Sebelum 1969 kedua belah pihak
menghormati Konvensi 1891 antara Inggris dan Belanda yang menetapkan garis
batas 40 10’ Lintang Utara (LU) bagi kedua negara. Indonesia berpendirian bahwa Pulau Sipadan dan
Ligitan yang terletak di sebelah Selatan garis itu merupakan wilayah Indonesia. Serangkaian perjanjian,
lobi, diplomasi berlangsung dengan cara “Asian Way”, sebuah cara yang
mengedepankan dialog, dengan menghindari konflik militer. Akhirnya masalah itu
menjadi redam dalam tanda kutip, artinya
dialog tentang perselisihan itu dicoba dilakukan dengan cara musyawarah.
Indonesia pada waktu itu tampaknya terlalu terbuai dengan model seperti itu sehingga Indonesia tiba-tiba terkejut ketika pada bulan Oktober tahun 1991, Malaysia tiba-tiba mengeluarkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah Malaysia, dan tragisnya Indonesia juga tidak tahu kalau di Sipadan telah dibangun tourisme dan arena diving yang sangat bagus . Kemudian pada tahun 1997 Indonesia dan Malaysia bersepakat untuk menyerahkan masalah tersebut ke International Court of Justice, the Hague di Belanda.
Indonesia pada waktu itu tampaknya terlalu terbuai dengan model seperti itu sehingga Indonesia tiba-tiba terkejut ketika pada bulan Oktober tahun 1991, Malaysia tiba-tiba mengeluarkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah Malaysia, dan tragisnya Indonesia juga tidak tahu kalau di Sipadan telah dibangun tourisme dan arena diving yang sangat bagus . Kemudian pada tahun 1997 Indonesia dan Malaysia bersepakat untuk menyerahkan masalah tersebut ke International Court of Justice, the Hague di Belanda.
Indonesia mendasarkan
kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda
dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur
yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan
Sulu-Den & Overbeck-BNBC-Malaysia.
Sengketa ini lalu dibicarakan dalam
pertemuan antara Presiden Soeharto dan PM Mahathir Muhamad di Yogyakarta pada
1989. Melalui berbagai pertemuan dalam beberapa tahun, kedua belah pihak
berkesimpulan sengketa ini sulit untuk diselesaikan secara bilateral
Karena itu kedua belah pihak setuju untuk
mengajukan penyelesaian ini ke Mahkamah Internasional dengan menandatangai
”Perjanjian Khusus untuk diajukan ke Mahkamah Internasional dalam Sengketa
antara Indonesia dan Malaysia menyangkut kedaulatan atas Pulau Ligitan dan
Sipdan,” di Kuala Lumpur pada 31 Mei 1997. Melalui surat bersama
perjanjian ini kasus sengketa ini disampaikan ke Mahkamah Internasional di Den
Haag pada 2 November 1998.
Kedua belah pihak mempercayai Mahkamah
Internasional akan mengambil keputusan yang adil mengenai siapa yang berdaulat
atas kedaulatan Pulau Ligitan dan Sipadan, berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas
kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris.
Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur
Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan
Sulu-Den&Overbeck-BNBC-Malaysia. Malaysia juga berpendirian
bahwa kedaulatannya atas kedua pulau tersebut berdasarkan fakta bahwa Inggris
dan kemudian Malaysia sejak 1878 secara damai terus menerus mengadministrasi
kedua pulau itu.
Di depan Mahkamah Internasional, untuk
membuktikan klaimnya, kedua belah pihak harus memenuhi prosedur, antara lain
menyampaikan pembelaan tertulis dan memori, memori banding dan replik. sampai
memasuki tahap penyampaian pembelaan lisan.
Pembelaan lisan terbagi dua, yaitu putaran
pertama pada 3 dan 4 Juni 2002 Indonesia menyampaikan pembelaannya pada dengar
pendapat terbuka. Menyusul Malaysia pada 6 dan 7 Juni. Sedang putaran
kedua pada 10 Juni untuk Indonesia dan pada 12 Juni jawaban Malaysia.
Mengenai cara-cara menyampaikan perkara, batas waktu penyampaian pembelaan
tertulis dan lisan tertera dalam Statuta ICJ. Pembelaan lisan ini, sebagai
kelanjutan pembelaaan tertulis yang berakhir pada Maret 2000, akan berlangsung
sampai 12 Juni 2002
Pemerintah Indonesia berpendirian
bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan wilayah Indonesia. Selain
itu, Indonesia tetap mengajukan protes sambil menahan diri untuk
tidak melakukan klaim sepihak seperti yang dilakukan Malaysia selama
ini atas kedua pulau di lepas pulau Kalimantan tersebut. Demikian
salah satu kesimpulan yang diutarakan Menlu saat menyampaikan argumentasi lisan
di hadapan hakim pengadilan internasional di Den Haag.
Kendati sedang bersengketa, Hassan
menyataka bahwa hubungan Indonesia dengan Malaysia masih
berlangsung dengan sangat baik. ”Kembali kepada sisi yang positif, Indonesia
memperhatikan bahwa kendati terdapat perbedaan-perbedaan dengan Malaysia,
hubungan antara kedua negara tetap berjalan sangat baik dan kedua negara telah
bersikap arif untuk menyelesaikan sengketa (Sipadan dan Ligitan) secara bersama
kepada yurisdiksi Mahkamah Internasional
Hassan, selaku pemegang
kuasa hukum (Agent) Indonesia dalam kasus sengketa Sipadan dan Ligitan, yaitu
bahwa adanya tindakan sepihak Malaysia pada tahun 1979 yang tidak mencerminkan
adanya ”good faith,” diantaranya dengan cara menerbitkan peta yang memasukkan
kedua pulau tersebut ke dalam wilayah nasionalnya. ”Dan akhirnya dengan
membangun sejumlah fasilitas wisata di Sipadan. Tindakan-tindakan ini secara
fundamental tidak selaras dengan sikap menahan diri atau ‘status quo.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas
kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris.
Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur
Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den
& Overbeck-BNBC-Malaysia.
Pada tanggal 17 Desember 2002 lalu,
Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan, Pulau Sipadan dan Ligitan adalah
wilayah Malaysia berdasar kenyataan, Inggris dan Malaysia dianggap telah
melaksanakan kedaulatan yang lebih "efektif" atas pulau itu sebelum
tahun 1969.
Indonesia menghormati keputusan itu,
apalagi karena Pasal 5 Persetujuan 1997 tegas menyatakan, kedua pihak agree to
accept the judgement of the Court given pursuant to this Special Agreement as
final and binding upon th.
2.1.1 Putusan Mahkamah
Internasional
Pada tahun 1998 masalah sengketa
Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[8] [9] kemudian pada hari Selasa 17 Desember
2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau
Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di
lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang
berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI,
sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh
Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan
effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan
batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah
melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi
perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu
sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan
pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan
berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi
gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia
di selat Makassar.
2.1.2
Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional
1. Menolak
argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari
wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan
Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak
argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah
Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan
terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak
satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil
penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas
merujuk kedua pulau sengketa.
2. Menolak
argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di
bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891.
penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU yang memotong P. Sebatik
sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh
kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal
status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori
van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan
ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak
memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891.
mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa
tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari
wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
3. Penguasaan
efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969
sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun
argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan
masing-masing atas kedua pula yang bersengketa
2.2 Pembahasan
Penyelesaian sengketa yang
akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada hakikatnya
merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara damai
yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan
Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua belah pihak
(Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah
Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim
teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi,
misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan hampir semua negara
tetangganya.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.
Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu dibawah kepemiminan Mentri Luar Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan Sipadan-Ligitan dengan kekuatan diplomasinya. Memang masih banyak revisi dan peninjauan yang harus dilakukan para diplomat kita dan juga cara Deplu dalam menangani masalah internasional.
Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan deplu sebagai satu-satunya pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan dan Ligitan, mengingat kronologi konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur lebih dari empat dasawarsa tersebut. Kedua negara telah melakukan pertemuan-pertemuan baik formal maupun informal, secara bilateral maupun melalui ASEAN dalam menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan sejak tahun 1967. Indonesia dan Malaysia juga sama-sama kuat dalam mengajukan bukti historis terhadap klaim mereka masing-masing. Akhirnya pada tanggal 31 Mei 1997 pada akhir masa pemerintahan Soeharto, Soeharto menyepakati untuk menyerahkan masalah yang tak kunjung selesai ini ke mahkamah internasional dengan pertimbangan untuk menjaga solidaritas sesama negara kawasan dan penyelesaian dengan cara damai. Perlu kita tahu di sini adalah selama jangka waktu yang panjang tersebut pihak Republik Indonesia tidak pernah melakukan suatu usaha apapun dalam melakukan manajemen dan pemeliharaan atas Sipadan-Ligitan. Kita seolah mengabaikan kenyataan bahwa secara “de facto” pulau tersebut telah efektif dikuasai oleh Malaysia. Bahkan sejak tahun 1974 Malaysia sudah mulai merancang dan membangun infra struktur Ssipadan-Ligitan lengkap dengan fasilitas resort wisata. Kita seakan membiarkan saja hal ini terjadi tanpa melakukan apapun atau bahkan melakukan hal yang sama. Kesalahan kita ialah kita terlalu cukup percaya diri dengan bukti yuridis yang kita miliki dan bukti bahwa mereka yang bertempat tinggal di sana adalah orang-orang Indonesia. Tentu saja bukti ini sangat lemah mengingat bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia berasal dari rumpun yang sama dan agaknya cukup sulit membedakan warga Indonesia dan warga Malaysia dengan hanya berdasarkan penampilan fisik maupun bahasa yang dipergunakannya. Terlebih lagi sudah menjadi ciri khas di daerah perbatasan bahwa biasanya penduduk setempat merupakan penduduk campuran yang berasal dari kedua negara.
Melihat pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah internasional, ternyata bukti historis kedua negara kurang dipertimbangkan. Yang menjadi petimbangan utama dari mahkamah internasional adalah keberadaan terus-menerus dalam (continuous presence), penguasaan efektif (effectrive occupation) dan pelestarian alam (ecology preservation). Ironisnya ternyata hal-hal inilah yang kurang menjadi perhatian dari pihak Indonesia. Apabila ditelaah lebih dalam, seharusnya ketiga poin di atas ialah wewenang dan otoritas dari Departemen Luar Negeri beserta instansi lainnya yang berkaitan, tidak terkecuali TNI terutama Angkatan Laut, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan lembaga terkait lainnya. Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang baik antar lembaga untuk mengelola Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi lebih baik.
Di samping itu tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan beberapa negara tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada konflk internasional. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi perhatian dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi.
Berkaitan dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang dialami Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki “Pulau-pulau tak bernama”, membuka peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi secara militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat lemah kekuatan armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusianya. Ketiga, tidak adanya negosiator yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di forum internasional.
Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran domestik untuk menjaga teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis pangkal pantai (internal waters) dan alur laut nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera dilakukan untuk mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal ini memerlukan political will pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-menerus, pendudukan intensif dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tidak terpenuhinya unsur-unsur itu menyebabkan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia.
Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-state conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim berkait batas-batas nasional dan teritorial.
Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali pada saat- saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal, kelengahan pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan Sipadan-Ligitan.
Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh pada tingkat kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari luar negeri. Kemampuan militer armada laut kita amat minim apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan peralatan militer yang “tidak layak tempur” karena usia tua dengan rata-rata pembuatan akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alat utama sistem persenjataan merupakan “besi tua yang mengambang” dan tidak mampu melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh.
Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan militer kita amat jauh dari standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal, terdiri dari berbagai tipe dengan rentang waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal buatan tahun 1967 direkondisi tahun 1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi keamanan laut nasional Indonesia sepanjang 613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli. Dari armada yang dimiliki TNI AL itu, 39 kapal berusia lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia 21-30 tahun, 24 kapal berusia 11-20 tahun, dan delapan kapal berusia kurang dari 10 tahun.
Dalam relasi dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur diplomatis menjadi pilihan utama dan logis.
Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik menaruh pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita. Apalagi, sepertinya kita lalai dalam merawat perbatasan. Atas dasar alasan itu, bisa jadi wilayah-wilayah lain akan menyusul. Pemerintah juga tidak memiliki upaya proaktif, dan cenderung reaktif dalam forum diplomatik untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, termasuk persoalan perbatasan di forum internasional.
Hal ini terlihat dari minimalnya perhatian pemerintah terhadap persoalan perbatasan dan kedaulatan RI atas negara lain. Contoh yang paling nyata, tiadanya penamaan atas pulau-pulau “tak bernama’ yang tersebar di wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi alasan-alasan, misalnya, terkait pelestarian lingkungan yang masih jauh dari perhatian Pemerintah Indonesia.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.
Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu dibawah kepemiminan Mentri Luar Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan Sipadan-Ligitan dengan kekuatan diplomasinya. Memang masih banyak revisi dan peninjauan yang harus dilakukan para diplomat kita dan juga cara Deplu dalam menangani masalah internasional.
Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan deplu sebagai satu-satunya pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan dan Ligitan, mengingat kronologi konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur lebih dari empat dasawarsa tersebut. Kedua negara telah melakukan pertemuan-pertemuan baik formal maupun informal, secara bilateral maupun melalui ASEAN dalam menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan sejak tahun 1967. Indonesia dan Malaysia juga sama-sama kuat dalam mengajukan bukti historis terhadap klaim mereka masing-masing. Akhirnya pada tanggal 31 Mei 1997 pada akhir masa pemerintahan Soeharto, Soeharto menyepakati untuk menyerahkan masalah yang tak kunjung selesai ini ke mahkamah internasional dengan pertimbangan untuk menjaga solidaritas sesama negara kawasan dan penyelesaian dengan cara damai. Perlu kita tahu di sini adalah selama jangka waktu yang panjang tersebut pihak Republik Indonesia tidak pernah melakukan suatu usaha apapun dalam melakukan manajemen dan pemeliharaan atas Sipadan-Ligitan. Kita seolah mengabaikan kenyataan bahwa secara “de facto” pulau tersebut telah efektif dikuasai oleh Malaysia. Bahkan sejak tahun 1974 Malaysia sudah mulai merancang dan membangun infra struktur Ssipadan-Ligitan lengkap dengan fasilitas resort wisata. Kita seakan membiarkan saja hal ini terjadi tanpa melakukan apapun atau bahkan melakukan hal yang sama. Kesalahan kita ialah kita terlalu cukup percaya diri dengan bukti yuridis yang kita miliki dan bukti bahwa mereka yang bertempat tinggal di sana adalah orang-orang Indonesia. Tentu saja bukti ini sangat lemah mengingat bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia berasal dari rumpun yang sama dan agaknya cukup sulit membedakan warga Indonesia dan warga Malaysia dengan hanya berdasarkan penampilan fisik maupun bahasa yang dipergunakannya. Terlebih lagi sudah menjadi ciri khas di daerah perbatasan bahwa biasanya penduduk setempat merupakan penduduk campuran yang berasal dari kedua negara.
Melihat pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah internasional, ternyata bukti historis kedua negara kurang dipertimbangkan. Yang menjadi petimbangan utama dari mahkamah internasional adalah keberadaan terus-menerus dalam (continuous presence), penguasaan efektif (effectrive occupation) dan pelestarian alam (ecology preservation). Ironisnya ternyata hal-hal inilah yang kurang menjadi perhatian dari pihak Indonesia. Apabila ditelaah lebih dalam, seharusnya ketiga poin di atas ialah wewenang dan otoritas dari Departemen Luar Negeri beserta instansi lainnya yang berkaitan, tidak terkecuali TNI terutama Angkatan Laut, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan lembaga terkait lainnya. Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang baik antar lembaga untuk mengelola Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi lebih baik.
Di samping itu tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan beberapa negara tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada konflk internasional. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi perhatian dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi.
Berkaitan dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang dialami Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki “Pulau-pulau tak bernama”, membuka peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi secara militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat lemah kekuatan armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusianya. Ketiga, tidak adanya negosiator yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di forum internasional.
Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran domestik untuk menjaga teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis pangkal pantai (internal waters) dan alur laut nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera dilakukan untuk mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal ini memerlukan political will pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-menerus, pendudukan intensif dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tidak terpenuhinya unsur-unsur itu menyebabkan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia.
Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-state conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim berkait batas-batas nasional dan teritorial.
Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali pada saat- saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal, kelengahan pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan Sipadan-Ligitan.
Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh pada tingkat kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari luar negeri. Kemampuan militer armada laut kita amat minim apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan peralatan militer yang “tidak layak tempur” karena usia tua dengan rata-rata pembuatan akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alat utama sistem persenjataan merupakan “besi tua yang mengambang” dan tidak mampu melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh.
Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan militer kita amat jauh dari standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal, terdiri dari berbagai tipe dengan rentang waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal buatan tahun 1967 direkondisi tahun 1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi keamanan laut nasional Indonesia sepanjang 613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli. Dari armada yang dimiliki TNI AL itu, 39 kapal berusia lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia 21-30 tahun, 24 kapal berusia 11-20 tahun, dan delapan kapal berusia kurang dari 10 tahun.
Dalam relasi dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur diplomatis menjadi pilihan utama dan logis.
Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik menaruh pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita. Apalagi, sepertinya kita lalai dalam merawat perbatasan. Atas dasar alasan itu, bisa jadi wilayah-wilayah lain akan menyusul. Pemerintah juga tidak memiliki upaya proaktif, dan cenderung reaktif dalam forum diplomatik untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, termasuk persoalan perbatasan di forum internasional.
Hal ini terlihat dari minimalnya perhatian pemerintah terhadap persoalan perbatasan dan kedaulatan RI atas negara lain. Contoh yang paling nyata, tiadanya penamaan atas pulau-pulau “tak bernama’ yang tersebar di wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi alasan-alasan, misalnya, terkait pelestarian lingkungan yang masih jauh dari perhatian Pemerintah Indonesia.
2.3 Teori Mengenai Metode Penyelesaian Sengketa Internasional
Teory mengenai metode penyelesaian
sengketa internasional (methods of international settlement disputes) di
bagi dua bagian yaitu metode diplomasi dan secara huklum, lebih jelasnya di
jelaskan seperti di bawah ini:
1. Metode Diplomasi
(Diplomatic Method):
a. Negosiasi (negotiation)
Negosiasi adalah perundingan yang
dilakukan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk menyelesaikan
sengketa melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Negosiasi merupakan cara
penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling tuas digunakan oleh umat
manusia. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menempatkan negosiasi sebagai cara
pertama dalam menyelesaikan sengketa.
b. Pencarian Fakta (fact-finding atau inquiry)
Sengketa yang dihadapi oleh para
pihak pada intinya adalah mempersengketakan perbedaan mengenai fakta, maka
untuk meluruskan perbedaan tersebut diperlukan campur tangan pihak lain untuk
menyelidiki kedudukan fakta yang sebenarnya. Biasanya para pihak tidak meminta
pengadilan tetapi meminta pihak ketiga sifatnya kurang formal. Cara ini
biasanya ditempuh manakala cara-cara konsultasi atau negosiasi telah dilakukan
dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Dengan cara ini, pihak ketiga akan
berupaya melihat suatu permasalahan dari semua sudut guna memberikan penjelasan
mengenai kedudukan para pihak.
c. Jasa-Jasa Baik (good offices)
Melibatkan pihak ketiga (third party)
yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa
individu atau kelompok (group or individual), negara atau kelompok negara
atau organisasi internasional.
Dalam jasa-jasa baik, pihak ketiga
terlibat tanpa memainkan peranan yang aktif dalam arti dia tidak ikut secara
langsung dalam perundingan-perundingan tetapi hanya menyiapkan dan mengambil
langkah-langkah yang perlu agar para pihak yang bersengketa dapat bertemu satu
sama lain dan merundingkan sengketanya. Bila para pihak yang bersengketa telah
setuju untuk saling bertemu maka berakhir pulalah misi negara yang menawarkan
jasa-jasa baiknya tersebut, contoh: atas jasa-jasa baik Perancis, Menlu Henry
Kissinger mengadakan perundingan dengan Menlu Vietnam Le Duc Tho pada bulan
Januari 1973 untuk mengakhiri Perang Vietnam.
Pelaksanaan jasa-jasa baik (good
offices) dapat disatukan dengan mediasi (mediation) pelaksanaannya
dapat disatukan/digabungkan, contoh: Kasus Iran (1979) --- kedua belah pihak
tidak berbicara secara langsung satu sama lain. Dalam kasus ini Aljazair
bertindak sebagai mediator dan menghasilkan Algier Accord sebagai
dasar pembentukan “The Iran-USA Claims Tribunal in the Hague (1981)”.
d. Mediasi (mediation)
Melibatkan pihak ketiga (third party)
yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa
individu atau kelompok (group or individual), negara atau kelompok negara
atau organisasi internasional.
Dalam mediasi, negara ketiga bukan hanya
sekedar mengusahakan agar para pihak yang bersengketa saling bertemu, tetapi
juga mengusahakan dasar-dasar perundingan dan ikut aktif dalam perundingan,
contoh: mediasi yang dilakukan oleh Komisi Tiga Negara (Australia, Amerika,
Belgia) yang dibentuk oleh PBB pada bulan Agustus 1947 untuk mencari
penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda dan juga mediasi yang
dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter untuk mencari penyelesaian sengketa antara
Israel dan Mesir hingga menghasilkan Perjanjian Camp David 1979. Dengan
demikian, dalam mediasi pihak ketiga terlibat secara aktif (more active and
actually takes part in the negotiation).Determination made by third
party is not binding unless they have so agreed.
e. Konsiliasi (conciliation)
Konsiliasi merupakan suatu cara
penyelesaian sengketa oleh suatu organ yang dibentuk sebelumnya atau dibentuk
kemudian atas kesepakatan para pihak yang bersengketa. Organ yang dibentuk
tersebut mengajukan usul-usul penyelesaian kepada para pihak yang bersengketa (to
the ascertain the facts and suggesting possible solution). Rekomendasi yang
diberikan oleh organ tersebut tidak bersifat mengikat (the recommendation of
the commission is not binding).
Contoh dari konsiliasi
adalah pada sengketa antara Thailand dan Perancis, kedua belah
pihak sepakat untuk membentuk Komisi Konsiliasi. Dalam kasus ini Thailand
selalu menuntut sebagian dari wilayah Laos dan Kamboja yang terletak di
bagian Timur tapal batasnya. Karena waktu itu Laos dan Kamboja adalah
protektorat Perancis maka sengketa ini menyangkut antara Thailand dan Perancis.
2.3.1 Penyelesaian Sengketa Internasional Dengan
Cara Hukum
a. Arbitrase
Arbitrase adalah suatu prosedur
penyelesaian sengketa melalui keputusan yang mengikat yang didasarkan atas
hukum dan sebagai hasil dari penerimaan secara sukarela (a procedure for the
settlement of disputes between states by a binding award on the basis of law
and as a result of an undertaking voluntarily accepted).
b. Mahkamah Internasional (International
Court of Justice)
Mahkamah Internasional (ICJ) sebagai badan
peradilan dunia yang berkedudukan di Den Haag dewasa ini memainkan peranan yang
sangat penting di dalam mencegah pertikaian antarnegara. Mahkamah Internasional
(ICJ) merupakan kelanjutan dari Mahkamah Tetap Peradilan Internasional (PCIJ)
yang dibentuk berdasarkan Pasal XIV Covenant LBB. Pembentukan Mahkamah yang
baru ini (ICJ) sama sekali bukanlah berarti bahwa Mahkamah yang lama (PCIJ)
gagal dalam menjalankan tugasnya. Terbukti dari tahun 1922 sampai dengan tahun
1940, Mahkamah Tetap (PCIJ) telah memutuskan 31 perkara dan menyampaikan 27
pendapat tidak mengikat (advisory opinion).
Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan
bagian integral dari PBB. Menurut Pasal 92 Piagam PBB: “Mahkamah Internasional
merupakan organ hukum utama PBB”. Karena Mahkamah Internasional merupakan
bagian integral dari PBB, maka secara otomatis semua anggota PBB merupakan
anggota Statuta Mahkamah Internasional. Hal ini berbeda dengan LBB: Pakta (Covenant)
LBB dan Statuta Mahkamah Tetap (PCIJ) merupakan dua naskah yang terpisah sama
sekali.
Penyelesaian sengketa yang Diambil antara
Malaysia dan Indonesia adalah dengan jalan mengambil metode kedua
dalam hal metode hUkum dengan cara mengajukan persoalan sengketa kepada
Mahkamah Internasional.
Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui
jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi
maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan
penyelesaian sengketa jalur hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat antara
masing-masing pihak yang bersengketa.
Selain arbitrase, lembaga lain yang dapat
ditempuh untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui jalur hukum adalah
pengadilan internasional. Pada saat ini ada beberapa pengadilan internasional
dan pengadilan internasional regional yang hadir untuk menyelesaikan berbagai
macam sengketa internasional. Misalnya International Court of Justice (ICJ), International
Criminal Court, International Tribunal on the Law of the Sea, European
Court for Human Rights, dan lainnya.
Penyelesaian sengketa internasional
melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak
yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para
pihak, misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan hukum acara yang
digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan internasional, maka para
pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak yang
bersengketa.
2.4 Cara atau Sikap yang Harus Dilakukan Indonesia Jika
Mengatasi Kasus yang Sama
Dalam mengantisipasi negosiasi pada tahap
berikutnya,maka perlu terus dilakukan pengkajian mendalam untuk memperkuat
posisi tawar menawar kita. Landasan hukum yang kuat akan menjadi modal dasarnya,
namun harus didukung dengan kepiawaian dalam seni bernegosiasi untuk
menyakinkan pihak lawan. Apabila atas dasar hasil kajian yang mendalam dan
komprehensif, posisi Indonesia secara yuridis sangat kuat, maka
penyelesaian secara hukum harus tetap dibuka kemungkinannya. Dengan alasan
apapun, opsi perangsebaiknya tidak digunakan
Untuk mencegah berulangnya kejadian
serupa, maka Pemerintah Indonesia harus menangani secara lebih serius masalah
wilayah perbatasan dan pulau- pulau yang berbatasan dengan negara
tetangga.Bayangkan saja untuk memperjuangkan Sipadan-Ligitan di Mahkamah
Internasional harus keluar dana lebih dari Rp16 miliar. Dan itu bukan uang yang
sedikit terlebih lagi kehilangan satu pulau berarti ancaman terhadap integritas
wilayah Indonesia. Hal ini penting, karena sengketa pulau yang dimiliki
Indonesia bukan saja Sipadan-Ligitan, tetapi banyak pulau lainnya. Selain itu,
ini juga bisa menjadi preseden buruk terhadap pertanggungjawaban pemerintah
untuk mempertahankan eksistensi keutuhan wilayah.
Miskin ahli hukum
internasional, Hilangnya Pulau Sipadan dan Lingitan di Mahkamah
Internasional, menjadi pelajaran yang sangat berharga sekali, harus diakui
bahwa pemerintah memang tidak menggunakan bantuan dari pengacara atau pakar
hukum internasional dari Indonesia, kecuali ahli-ahli dari Deplu sendiri. Dari
sekian ribu pengacara yang ada di Indonesia, menurut Havas, belum ada satupun
yang memiliki keterampilan yang memadai untuk berlaga di Mahkamah
Internasional. Salah satunya adalah memperkuat dan memperbanyak ahli hukum
yang menguasai pengetahuan tentang hukum internasional. Menurut Director
of Treaties on Political, Security and Teritorial Affairs Deplu, Arif
Havas Oegroseno, Indonesia minim sekali orang yang ahli di bidang hukum
internasional. Namun, tidak
seharusnya ketiadaan para pakar hukum internasional membuat kita menjadi tidak
percaya diri.
Jangan menggunakan pengacara asing karena,
Selain itu, ia juga berpendapat bahwa pengacara dalam negeri memiliki sense
of belonging yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengacara
asing. Sedangkan, pengacara-pengacara asing relatif melihat kasus tersebut dari
sisi bisnisnya semata
BAB III PENUTUP
Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh
Indonesia dan Malaysia dalam menentukan kedaulatan di Pulau Sipadan dan Ligitan
merupakan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai,dimana Indonesia dan
Malaysia memilih Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan sengketa ini, dasar
hukum di dalam penyelesaian sengketa ini adalah pasal 2 ayat 3 dan pasal 33
Piagam PBB.
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan
disebabkan karena adanya ketidakjelasan garis perbatasan yang dibuat oleh
Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu dari Indonesia dan Malaysia
di perairan timur Pulau Borneo, sehingga pada saat Indonesia dan Malaysia
berunding untuk menentukan garis perbatasan kedua negara di Pulau Borneo,
masalah ini muncul karena kedua pihak saling mengklaim kedaulatan atas Pulau
Sipadan dan Ligitan.
Berbagai pertemuan bilateral dilakukan
oleh kedua negara dalam upaya melakukan pemecahan atas sengketa ini namun
sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua negara sepakat untuk
menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah Internasional. Berbagai
macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua pihak dalam persidangan
di Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan
bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan milik Malaysia atas
dasar prinsip okupasi, dimana Malaysia dan Inggris sebagai negara pendahulu
lebih banyak melaksanakan efektifitas di Pulau Sipadan dan Ligitan.
1) Adolf
Huala, 2006 , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika Jakarta.
2) Buana
Satria Mirza, 2007 , Hukum Internasional Teori dan Praktek, FH unlam press:
Banjarmasin
3) Harun,Djaenuddin,dkk.
2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional.
4) Iskandar
Encang,2004. Pendidikan kewarganegaraan.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
5) Moh
Burhan Tsani,1990, Hukum dan Hubungan Internasional.Liberty:Yogyakarta
6) Rifdan,dkk.
2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Makassar: Ikatan dosen pendidikan
Kewarganegaraan.
7) Sumaryo
Suryokusumo, 1997, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Alumni:Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar